Pemirsa, rakyat Konoha yang tidak suka membaca!
Linguistik, secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu tentang bahasa. Turunan dari kajian ini ialah ilmu kognitif, psikologi, dan antropologi; entah bagaimana justru lebih umum dikenal oleh umat manusia. Seorang linguis (sebutan bagi ahli linguistik) “masuk” ke dalam tubuh linguistik melalui tiga pintu: bentuk bahasa, makna bahasa, dan bahasa dalam konteks. Tapi saya tidak akan membicarakan hal ini, sebab mempelajarinya akan sangat membosankan dan memerlukan uang kuliah selama empat semester.
Saya akan mengajak kita semua menatap lingustik sebagai seorang tetangga dengan rumah megah dan menjalani kehidupan dengan sangat nyaman, padahal jika dilihat lebih dekat seperti juga rumah-rumah lainnya, ia memiliki kompleksitas yang pelik. Linguistik adalah tetangga kita yang terkesan ramah dan terbuka terhadap tamu-tamu disiplin ilmu lain. Hal ini menjadikan linguistik bergaul, dan bahkan jatuh cinta, menikah, hingga tak segan beranak-pinak dengan ilmu lain sesuai dengan konsentrasi jenis pendekatan kajian dan objek kajiannya. Di rumah megah linguistik, ruang paling mewah adalah mikrolinguistik dan makrolinguistik; perabotan di dalamnya tentu sangat beragam: mikro meliputi lima macam isian, dan makro sekurang-kurangnya memiliki sepuluh hiasan cantik. Sebenarnya saya tak hendak nama-nama perabotan ini, namun agar terkesan serius, saya akan sebutkan satu-satu (sehingga Anda, para pembaca yang budiman dapat melakukan penelusuran lanjutan di mesin pencarian.
Baca Juga: Esai Dwipa dan Hayat: Industri Pariwisata di Era Digital
Ini dia nama-nama perabotan itu: Mikrolinguistik berisi teori linguistic umum, linguistic deskriptif, historis kompatatif, dan linguistik historis. Sedangkan makrolinguistik berisi anak-cucu Tuan Linguistik (iterdisipliner) yakni fonetik, stilistika, filsafatbahasa, psikolinguistik, sosiolinguistik, etnolinguistik, ekolinguistik, filologi, semiotika, epigrafi, revivalitas bahasa, pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, sosiolinguistik, pembinaan bahasa, linguistik forensic, medical linguistik, grafologi, mekanolinguistik, dan seterusnya.
Di rumah mewahnya, Tuan Linguistik menjamu tamu-tamunya dengan beragam topic pembicaraan, di antaranya, fonologi, tentang bagaimana bunyi-bunyi diproduksi; morfologi, bahasan bentuk kata; sintaksis, telaah susunan kalimat; semantik, tentang makna-makna dalam sebuah wacana lisan ataupun tertulis; dan pragmatik, tentang keserasian sebuah bahasa dalam system komunikasi. Tampaknya topik-topik ini hanya akan membuat pembaca awam yang budiman akan kebingungan. Baiklah saya sederhanakan menjadi: modul ajar dalam sekolah kita hanya menawarkan sedikit kajian sintaksis, ilmu morfologi; semantik dan pragmatik. Sisanya, akan secara mengejutkan dibedah habis-habisan di perguruan tinggi.
Peta linguistik yang berusaha saya jelaskan dengan analogi sederhana di atas adalah gara-gara pemikiran Ferdinand de Saussure (Swiss, 1857-1913) seorang pemikir yang dipengaruhi strukturalisme, modernisme, serta semiotika dalam lingkup sastra (kemudian ia tuliskan dalam bukunya Course de Linguistique Generale) yang rumit, tetapi menyebabkan dirinya dinobatkan sebagai Bapak Linguistik Modern.
Dewasa ini, linguistik telah menyentuh hamper seluruh disiplin keilmuan. Pada telaah sastra ia bersenandung sebagai si puitis semiotika; dalam ilmu hukum ia menjelma sebagai pisau bedah forensik; dalam filsafat ia muncul sebagai si paling bijak philolinguistics; dalam dunia pariwisata ia nongkrong asyik sebagai etnolinguistik; dalam dunia digital ia menjadi linguistic komputasi yang canggih; dalam ilmu matematis ia sangat akurat sebagai corpuslinguistics; dalam kajian keagamaan ia menjelma yang maha stilistika; dan sebagainya-dan sebagainya.
Baca Juga: Esai Salman Faris: Refleksi Pahlawan Nasional dari Sasak
Namun, para linguis dan pelajar linguistik berhadapan dengan masalah paling hina-dina sejauh perkembangan ilmu pengetahuan baru ini: mereka tak mendapat tempat di mata masyarakat. Kehadiran mereka hanyalah pada strata masyarakat kelas dua –atau bahkan kelas tiga; barangkali hanya karena dua pertanyaan: “Orang iseng mana yang akan menghabiskan hidupnya untuk dengan sangat serius membanding-bandingkan logat bicara orang Sunda dengan orang Bali?” atau paling jauh, “Kok bisa orang-orang aneh ini menyenderkan hidup sebagai seorang peneliti bahasa? Bukankah lebih baik menjadi guru agama atau pegawai pemerintahan?”
Bali, 2023
---
Artikel Terkait
Opini Wahyu Nusantara Aji: Sedikit Catatan untuk Dewan Kesenian Lombok Timur
Opini Wahyu Nusantara Aji: Tidak Ada Sastra di Lombok Timur?
Esai Rian Kurniawan Harahap, M.Pd | Lesung Gelegaran: Sebuah Memori Kolektif Tubuh
Cerpen Yuspianal Imtihan: Paman Abidin Sang Pengamat Semut
Cerpen Eyok El-Abrorii: Tentang Ca dan Jaran Praja